31 Januari 2008

Kondisi Jakarta yang semakin memprihatinkan

15-20 tahun yang lalu kalau hujan di pagi hari kondisi jalanan di Jakarta tampak lengang... orang enggan untuk keluar rumah....

tapi coba kalau kita lihat kondisi saat ini... 2008, hujan sedikit saja jalanan sudah macet dan banjir di sana sini....

Kota Jakarta menurut pandangan ku pribadi sudah tidak nyaman untuk tempat tinggal...

tapi apa mau dikata.... aku menyambung hidup di kota ini...

contoh kecil dari perubahannya adalah : 25 tahun yang lalu aku dan kedua orangtua pindah ke daerah kebon jeruk, di salah satu komplek instansi pemerintah.......

tempatnya nyaman dan masih asri.... tapi sekarang untuk masuk ke komplekku saja sudah cukup sulit... jalanan yang tidak berubah (karena jalan masuk komplek) namun bagiku terasa sempit..... karena penghuni komplek sudah menambah koleksi mobilnya.... dan yang parahnya adalah untuk rumah dengan tipe yang tidak memiliki garasi..... hebatnya penghuninya bisa memiliki 3 buah mobil yang semuanya memenuhi jalan ...

komplek ku yang asri dan nyaman dalam waktu 25 tahun sudah menjadi tempat yang sempit dan sumpek.... padahal tidak terjadi pembangunan atau perubahan bangunan apapun lho.....


20 Januari 2008

Di Stasiun Gambir

Berkacalah, negeriku!
ketika mahasiswa menjadi bara, bara membara di seluruh negeri.
nyawa dijadikan coba-coba, coba-coba taruhannya nyawa.
masyarakat menangis dituduh maling, maling sungguhan tertawa-tawa
fakta jadi isapan jempol, jempol dan telunjuk serupa pelatuk

(Kemudian berakhir di meja-meja perundingan
sambil mencungkili slilit dengan gelondongan kayu)

Berkacalah, negeriku!
ketika petani menanam padi, padi dimakan belalang.
belalang dimakan petani, petani menanam harapan
harapan hutan jadi asap, asap terbang ke negeri tetangga.
tetangga menyumbang uang, uang sumbangan rakyat sengsara.

(Kemudian para orangtua menangisi masa depan
sambil menyuapi bayi nusantara dengan susu air tajin)

Berkacalah, negeriku, kau tak perlu berbedak.
Berkacalah, negeriku, kau tak perlu malu.


Jalanan Jakarta ibarat sungai dengan sampah-sampah kendaraan produk lama dan paling terbaru. Sebuah taksi penuh debu terselip di sana; meluncur di aspal panas jalanan, yang menguapkan hawa menyengat bulan Oktober. Angin kerontang di sekitar Monas menerbangkan daun-daun kering, Tapi pagar runcing setinggi hampir tiga meter itu menghalangi mereka untuk terus berterbangan ke arah istana presiden di sebelah utara atau ke gedung dewan di selatannya.

“Lihat, lihat pagar brengsek itu!” supir taksi memaki.

Penumpang taksi yang sedang tekun mengeja koran pagi, mendongak dan melihat ke luar jendela. Di sana tampak Monas dikerangkeng pagar runcing. Pagar brengsek, dia mengulang makian supir taksi sambil tersenyum getir.

“Apa sih maunya para penguasa itu?! Daripada duitnya dihambur-hamburin buat bikin pagar, mendingan buat modal orang-orang yang jualan itu!” katanya sambil menunjuk ke para pedagang minuman, yang memakai gerobak di sepanjang trotoar luar pagar.

Penumpang taksi mencoba menyimak omongan supir taksi. Pagar Monas kini menjelma ibarat pagar setan, yang bikin merah membara hati para pedangang gerobak. Pagar ganas, yang memercikkan api di lautan miyak. Pagar sombong, yang menghempaskan harapan dalam mengais rezeki dari para pelancong. Pagar sialan, yang merebut hak menikmati udara segar ciptaan Tuhan. Pagar angkuh para penguasa; yang mengkhawatirkan kursi mereka terganggu oleh para pendemo. Pagar yang dibangun mengelilingi wilayah Monas di era Gubernur DKI, Sutiyoso.

Sebagai Gubernur DKI periode 1997 – 2002, Bang Yos memang sering membuat kebijakan-kebijakan tak populer di kalangan masyarakat bawah. Misalnya, memberangus becak di bumi Jakarta. Menganti Bajay dengan mobil si Kancil. Nah, ketika paska reformasi bergulir dan iklim demokrasi kencang di suarakan, wilayah Monas sering dijadikan mimbar bebas dan wilayah buat pengumpulan massa oleh OKP, Ormas, atau bahkan Orsospol. Khawatir kawasan ini tidak steril, karena di utaranya ada istana presiden dan di selatannya ada gedung DPRD DKI Jakarta, yang kerap kali jadi sasaran pendemo, wilayah Monas akhirnya dipagari. Konon biayanya mencapai hampir 5 milyaran rupiah!

“Bayangin aja, 5 milyar perak! Cuma buat pagar! Apa kagak gila, tuh! Duit segitu dibuang-buang!” supir taksi ngedumel terus.

Si Penumpang mendengarkan saja.

Taksi sudah sampai di depan gedung dewan di sebelah selatan Monas. Di sebelah kiri taksi, berjejer mobil-mobil mewah di parkir. Mobil para wakil rakyat, lambang kemakmuran mereka. Ternyata kursi panas bisa beralih fungsi jadi mesin pencentak uang. Tak percuma mereka menghabiskan rupiah ketika musim kampanye. Atau saat loba-lobi; lobi sana lobi sini. Kursi tak sekedar kursi. Kursi yang ampuh, kursi yang ajaib. Kursi yang hebat, kursi yang menakutkan! Dengan kursi yang diduduki, mereka bisa berbuat apa saja. Bahkan untuk urusan mesin cuci sekalipun, kursi bisa mewujudkan itu! Kursi panas ini menghembus pada pemilihan gubenur dan wakil gubernur Jakarta periode 2002 – 2006. Banyak orang percaya politik main uang menjadi faktor penentu. Indikasi ke sana bukannya tak ada. Terlihat dari kartu pemilihan yang dibubuhi kode tertentu, berupa penebalan huruf pada penulisan nama duet Sutiyoso – Fauzie Bowo. Yang lain muncul dari pengakuan Mahfudz Djaelani, calgub yang gagal terpilih. Dia mengaku telah menyogok 40 anggota parelemen provinsi Jakarta, masing-masing senilai Rp 200 juta, supaya memilihnya. Tapi sayangnya, belakangan hari di beberapa media cetak Mahfudz meralat ucapannya. Untuk menjadi pengusung kebenaran, ternyata tidak sekedar butuh modal keberanian saja. Harus ada pendukung yang lainnya. Bisa massa. Mungkin juga politik. Bahkan uang. Kalau tidak, bisa jadi mati konyol.

“Lihat, lihat mobil-mobil mewah itu! Berapa sih gaji anggota dewan? Mestinya kekayaan mereka diperiksa! Di audit!”

Penumpang taksi kini mengangguk-angguk. Tapi tak lama dia kembali asik membaca koran pagi di jok belakang. Berita bom Bali, yang mengguncang dunia. Ledakan dahsyat pada jam 22.00pm WITA itu menghancurkan Sari Klub di kawasan Kuta, Legian. Sekitar 180-an orang tewas dan puluhan lain luka-luka. Empat puluh orang diperkirakan WNI dan sisanya turis mancanegara. Australia berada di urutan teratas dalam jumlah korban. Pihak kepolisian mengidentifikasi jenis bom adalah C4 dan pelakunya teroris internasional. Begitulah data-data yang bisa kita baca di media cetak dan kita dengar di berita televisi. Tapi itu tak membuat warga Jakarta ciut nyalinya untuk tetap melakukan aktivitas sehari-hari. Pusat- pusat bisnis serta perkantoran dipadati orang seperti biasanya.

Dia merasa gelisah dengan peristiwa itu. Tapi AC taksi cukup menentramkan hatinya dari sergapan panas global bumi ini. Beragam koran nasional menumpuk di sebelahnya. Dalam perjalanan menuju stasiun Gambir, dibukanya halaman demi halaman. Dia mencoba merasakan derita para korban bom Bali dan luka kehilangan para kerabat yang diinggalkan. Hampir 200 orang tewas dengan tubuh tercabik-cabik. Dia merasa pemberitaan di hampir seluruh koran nasional mencoba mengerucutkan persoalan pada sang dalang; bom yang meledak di Bali adalah rekayasa pihak Asing. Dengan sangat jelas, itu mengarah pada Central Intellingence Agency , dinas intelijen Amerika.

Atau kalau perlu MOSSAD , dinas rahasia Israel. Tapi, beberapa media menuliskan: pelaku peledakan adalah Osamah Bin Laden dengan jaringan Al -Qaedanya di Indonesia! Atau Islam garis keras. Atau Jamaah Islamiyah! Si tertuduh oleh Amerika dan sekutunya adalah putra Indonesia asli, Abu Bakar Ba’asyir , pemimpin pondok pesantren Al Mukmin, Ngruki Solo. Kiyai itu kini mendekam di bali terali besi Polda Jaya.

Penumpang taksi itu jadi teringat nenek-moyang dari pihak ayahnya di Banten, yang memiliki pesantren tradisional. Mbah nya sering membeberkan sejarah keluarga besarnya. Bermula dari nenek moyangnya yang jadi prajurit unggulan di zaman kesultanan Banten. Asal muasal nenek moyangnya pada pertengahan abad ke-16. Saat Banten berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, yang berpusat di Wahanten Girang, di tepi kali Dalung (sekitar kampung Sempu sekarang) dengan raja Prabu Pucuk Umum. Agamanya Hindu. Kemudian Syarif Hidayatullah dan putranya, Maulana Hasanudin, menaklukkan kerajaan Sunda. Prabu Pucuk Umum melarikan diri ke gunung Pulosari di selatan Banten. Tapi, nenek moyangnya memilih takluk dan jadi pemeluk agama Islam. Pada 1526, Maulana Hasanudin membangun kota Surosowan di pesisir utara, yaitu Banten Lama, yang kemudian jadi pusat pemerintahan Kesultan Banten. Dia diangkat jadi Sultan pertama Kesultanan Banten. Ketika benteng Surosowan luluh-lantak dibom Daendels , nenek moyangnya mengungsi ke selatan, di kota Cilegon sekarang. 

Nenek moyangnya beranak pinak di Cilegon. Terutama di kampung Beji, desa Bojonegoro. Wilayah yang setelah Banten jadi provinsi terjadi gonjang-ganjing, karena kasus korupsi di proyek pembuatan dermaga peti kemas. Tiga kemudian, tepatnya sepanjang 1888, di bawah komando Ki Wasyid, nenek moyangnya ikut andil di barisan depan dalam mengusir Belanda di bumi Banten. Peristiwa itu terjadi tiga tahun setelah gunung Krakatau meletus dan populer disebut “Geger Cilegon”. KH Wasyid dan beberapa pejuang lainnya, seperti KH Tubagus Ismail, gugur ditangan pasukan khusus Belanda, yang dipimpin Kapten Veenhuyzen. KH Wasyid gugur dengan sangat menyedihkan. Lehernya ditusuk dengan tombak trisula. Kepalanya dipenggal. Tubuhnya yang tanpa kepala diseret dengan kuda dari desa Cemara sampai ke Cilegon. Hingga sekarang kepala KH Wasyid entah berada di mana. 

Cerita mbahnya tak berheti sampai di situ. Bahkan sampai ke tindakan represif rezim Soeharto; perihal pembetukan Negara Islam Indonesia. Mbahnya jadi kambing hitam dan masuk bui! Segala bentuk pengajian pada masa itu selalu diidentifikasikan sebagai persiapan gerakan makar; penggulingan pemerintahan yang sah! Jika mbahnya mau berkhotbah saat sholat Jum’at, pihak Litsus akan menginterogasinya dulu. Menanyakan apa-apa yang akan dikatakannya pada jemaah Jum’at. Jika isi khotbahnya dinilai keras, maka dibatalkan!

Subhanallah! Penumpang taksi itu menutup koran terakhir. Semoga Allah melindungi si tertuduh; agar diberi kekuatan untuk terus semangat mengahadapi hidup yang keras ini. Dia berdoa untuk keselamatan Abu bakar Ba’asyir. Juga untuk para keluarga korban bom Bali. Dia melipat dan menumpuk koran terakhir di bagian atas. Dia adalah satu di antara 220 juta anak bangsa, yang hatinya melelehkan kepedihan tak terkira. Yang jiwanya merintih pilu dan luber oleh darah amarah, karena ditusuki kabar porak-porandanya bangsa ini oleh teroris. Oleh keributan berbau SARA. Oleh sikut sana-sini politik Machieveli. Oleh kebijakan pemerintah, yang dengan sangat jelas menganaktirikan penderitaan anak bangsanya sendiri! Oleh para maling berdasi, yan menghisapi darah rakyat. Oh, zamrud khatulistiwa ini porak poranda sudah. Tak cocok lagi pepatah gemah ripah loh jinawi, aman tentrem kertaraharja disematkan. Lagu Keenan Nasution, penggebuk drum Gypsy Band yang suami dari Ida Royani, dengan lirik: aku bahagia, hidup sejahtera di khatuliswa, alam indah penuh bunga beraneka, surga di cakrawala, bermandi embun surga... kini hanya cocok disimpan di album nostalgia! Dijejerkan dengan foto-foto lama dan derai air mata!
TIN, TIIIN, TIIIIIN……!! 
CIIIIT!

Lamunan penumpang taksi itu buyar!

Supir taksi dengan beringas memencet klakson sambil menginjak pedal rem, ketika sebuah mobil sedan mewah menyalipnya. Penumpang taksi itu terlonjak dan tubuhnya membentuk punggung jok kursi depan. 

“Anjing lo!” kalimat makian menyembur dari mulut supir taksi.
TIN, TIIN, TIIIN! 
Terjadi kemacetan. 

Dalam sekejap bunyi klakson membumbung ke langit Jakarta. Pekak. Begitu juga caci-maki dari beragam mulut orang. Sinar matahari yang bagai bara api, memang, membikin pening kepala. Membikin amarah lebih cepat memanas di ubun-ubun dan dalam sekejap meledak: BUM! 

Taksi bersiap-siap hendak merayap.
TIIIIIIIIIIIIIIIIN!

“Anjing buduk!” supir taksi mengerem dan mengumpat lagi. Dia bergegas menurunkan jendela mobilnya dan menjulurkan kepalanya. “Heh, minggir lo!” hardiknya kepada supir Bajay, yang menyerobot lahan kosong di depannya.

Dihardik ibarat anjing, supir Bajay melampiaskan kejengkelannya dengan memainkan gas Bajaynya! Sontak saja asap hitam menyemprot ke bodi depan taksi. Ditimpali pula dengan raungan mesinnya yang seperti bunyi kaleng rombeng; menyakitkan telinga!

“Setan lo!” si pengemudi taksi memaki lagi.
“Lo yang setan!” balas supir Bajay .
“Dasar sundal!” makinya lagi. 
“Lo yang sundal!”
“Bentar lagi lo koit, ya! Si Kancil yang bakal gantiin Bajay lo! Rasain! Jatuh melarat lo! Kagak bakalan bisa makan lo!”

Supir Bajay meringis ketika mendengar nama Si Kancil , kendaraan roda tiga yang lebih “berbudaya”. Si Kancil itu akan meminggirkan Bajaynya. Dia pernah mendengar dari pembicaran di warung, bahwa Si Kancil adalah mobil penumpang beroda tiga keluaran Texmaco Group. Diperkirakan mobil penumpang jenis ini akan menjadi idaman di perhunian komplek. Sedap dipandang dan tidak tekesan jadi duri dalam daging. Berpenumpang 3 (termasuk supir) orang. Harganya ditaksir Rp 30 juta. Mulai dipasarkan tahun 2002 ini sebanyak 500 unit di Jakarta. Jangka panjang, mobil ini bisa juga dipakai untuk keluarga. Pastilah kehadirannya akan merebut sebagian rezeki supir bajay seperti dirinya! Ya, hatinya terasa pedih diledek begitu oleh si supir taksi. Tapi, apa boleh buat. Taksi memang kuat. Tak mungkin Bajay melawan taksi. Apalagi dibantu si Kancil. Bajay pasti berlalu dan makin terlupakan saja.

“Ayo, sini lo kalo berani!” supir taksi mengepalkan tinjunya.

Supir Bajay memilih mengalah dan mencemplungkan Bajaynya ke keramaian ibu kota. Istri dan kedua anaknya yang butuh biaya sekolah, tiba-tiba saja muncul di pelupuk matanya. Mereka lebih berharga ketimbang terjerat hukum rimba belantara jalanan ibu kota. Baku-hantam dengan sesama supir. Bisa-bisa malah melibatkan kedua kubu: supir Bajay dan supir taksi. Bisa-bisa jalanan Jakarta banjir darah. Kasihan bumi Khatulistiwa ini. Jangan sampai darah Aceh, Pontianak, Poso, Ambo, Timor, Papua, dan Bali yang belum kering, sudah dibasahi lagi oleh dirinya! Jangan sampai orang susah seperti dirinya makin susah saja dan dicap biang masalah!

“Heh, kabur lagi! Dasar pengecut lo!” supir taksi terus saja memborbardir.


“Udah dong, Bang,” si penumpang mengingatkan. “Sesama wong cilik, kok malah saling ribut. Hidup ‘kan udah susah. Ngapain dibikin susah lagi. Mendingan ketawa-ketawalah! Bikin hidup ini gembira gitu, lho!”

“Katanya tadi minta cepet! Ya, mesti begini kalo mau cepet! Sikut sana-sikut sini! Kayak para politikus brengsek itulah!” umpatnya sambil menunjuk ke gedung dewan di sebelah selatan. “Waktu kampanye, ngomongnya semua atas nama rakyat, demi rakyat! Pas udah jadi anggota dewan, semuanya demi kursi! Demi jabatan! Demi harta! Demi pantat cewek!”“Huss! Istighfar, Bang……”

“Mestinya yang istighfar itu mereka! Para wakil rakyat itu!”

“Lho, kok jadi ngelantur ke mana-mana!” penumpang taksi menggelengkan kepalanya. Dia melihat ke arlojinya. Dua puluh menit lagi, kereta akan berangkat menuju Bandung. Itu jadwalnya. Semoga tidak berubah. Semoga tidak ada istilah human error segala! Semoga tidak ada longsor. Semoga tidak ada sabotase. Semoga tidak ada penelepon iseng yang membisiki Mabes Polri: sssst, di stasiun Gambir ada bom!

Taksi merayap pelan dan tersendat-sendat.

“Antri lagi!” maki supir taksi kesal.

Penumpang taksi mencoba untuk menahan diri. Percuma juga melayani supir taksi yang sedang frustasi. Beberapa mobil pribadi dan taksi terhenti di pintu selatan stasiun Gambir. Mereka antri bagai siput untuk mendapatkan karcis masuk ke kawasan parkir di pelataran sebelah timur. Fuih! Jakarta memang mirip keranjang sampah. Tempat bagi orang frustasi! Dalam segala hal. Dia mengurut dada. Diam-diam dia memanjatkan rasa syukur: ya, Allah…, terima kasih atas segala karuniamu ini, sehingga aku tidak termasuk ke golongan orang-orang yang frusrtasi! 

Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh kereta api menggema dari stasiun Gambir.

“Jangan takut! Itu kereta listrik dari Kota. Mau ke Depok!” supir taksi memberi tahu. Tepatnya: menenangkan penumpangnya, bawa keretanya belum berangkat!

Penumpang taksi mengalihkan perhatian ke luar jendela sebelah kirinya. Dia membetulkan letak kaca mata hitamnya. Di depannya sudah terpampang bangunan berarsitektur modern dengan dominasi warna hijau dan kuning. Terus terang, baginya stasiun ini sangatlah kokoh, tapi angkuh. Sangat kaku dan tanpa cita rasa seni yang tinggi. Stasiun kereta api Beos di kawasan kota tua, jauh lebih ramah dan memiliki cita rasa seni yang tinggi. Semoga stasiun itu pun tidak dirubuhkan dan diganti dengan bangunan msa kini, yang tak mengindahkan keharmonisan dengan bangunan-bangunan di sekitarnya.

TIN, TIIN, TIIIN!
TIIIIIIIN!
Hari ini orang-orang begitu senang memencet klakson kendaraannya!

Supir taksi menoleh. Wajahnya ditkuk. Dia melihat sebuah sedan mewah berusaha menyalipnya. Tergesa-gesa dia menurunkan kaca jendela lagi. Penumpang taksi kembali merasakan angin panas menyerbu masuk ke dalam taksi dari jendela yang terbuka. Supir taksi melongokkan kepalanya. Si penumpang hanya menggelengkan kepalanya saja. Pasti akan keluar lagi semburan makian, piirnya.

“Setan lo!” teriaknya menggerutu kepada pengemudi sedan mewah di belakang taksinya. “Sabar, kenapa! Lo nggak lihat, apa! Lagi antri kayak gini! Dasar otak kebo lo!”

“Jangan marah-marah terus, Bang. Nggak nyelesain masalah!” si Penumpang tak tahan juga mengomentari.

“Bunyiin klakson juga nggak nyelesain masalah, tau!”
“Wah, si Abang ini darah tinggi, ya!”
“Bukan darah tinggi lagi! Tapi stress!!!”

Huh! Percuma melayani supir taksi seperti ini. Lalu dia membetulkan letak kaca mata hitamnya lagi dan menekan topinya lebih dalam. Gerak-geriknya seperti tidak ingin dikenali oleh orang-orang. Lalu dia membuka pintu taksi dan menyeret travelling bag-nya.. 

“Heh, mau ke mana lo?”

“Di sini aja, Bang!” katanya sambil menyerahkan selembar uang kertas seratusan ribu. “Kembaliannya buat beli obat penurun darah tinggi aja! Thank’s ya, Bang!”
“Sialan lo! Pake nyuruh gue beli obat penurun darah tinggi segala!” supir taksi sewot ketika menerima uang kertas itu. 
“Sorri, sorri!” si Penumpang tertawa.
“Heh! Korannya!”

“Buat Abang aja! Lumayan, dikilo aja! Buat nambah setoran!” dia bergegas ke stasiun Gambir sambil tertawa.

“Sialan! Emangnya gua tukang rongsokan apa!” makinya sambil melihat ke argo. Angka yang tertera di sana hanya seperempatnya saja. “Lumayan! Banyak duit juga tuh anak!” dia memasukkan uang itu ke saku baju. “Kayaknya gue kenal ama tuh orang! Siapa, ya! Aduuh, di mana ya, gue pernah lihat tuh orang!” dia berpikir keras. Tapi ketika mentok, dia mengumpat seperti kebiasaannya lagi, “Ah! Peduli setan!” 

Tidak terpikirkan oleh si supir taksi untuk mengucapkan terima kasih. Baginya, menjadi supir taksi itu ibarat robot tak berjiwa. Mengantarkan penumpang ke tempat tujuan seperti barang antaran. Tak perlu melibatkan perasaan. Baginya, setelah “barang” diturunkan, segala urusan atau perkara selesai. Kalau ada sesuatu milik si penumpang tertinggal, berarti itu kesalahan si penumpang. ‘Kan sudah ada stiker ditempel dengan tulisan: “PERIKSALAH TEMPAT DUDUK ANDA SEBELUM TURUN, JANGAN SAMPAI ADA BARANG YANG TERTINGGAL”. Apa masih kurang cukup peringatan itu? 

Pernah pada suatu hari, handphone tergeletak di jok belakang taksinya. Tanpa merasa bersalah, dia menjual HP itu. Ketika si pemiliknya melapor ke perusahaan, dia cukup menjawab: tidak tahu! Kalau pun betul handphone penumpang taksinya ketinggalan, bisa saja itu diambil oleh penumpang berikutnya. Sederhana saja kan! Jadi, ketika ada penumpang yang tidak meminta kembaliannya, itu pun dianggap sesuatu yang biasa-biasa saja. Mungkin karena servisku yang memuaskan! Begitu dia membanggakan dirinya sendiri.

TIIIIIIN! TIIIIIIN!
“Heh! Mau jalan nggak lo?”
“Ngelamun lagi!”

Beberapa pengendara mobil memaki si supir taksi, karena taksinya melintang menghalangi jalur.

“Brengsek lo!” si Supir taksi malah memaki. Dia langsung memutar kemudinya ke kanan. Dia menyalip beberapa mobil di depannya. Segala umpatan tak diacuhkannya. Toh, penumpangnya sudah turun. Kenapa pula harus rela antri! Buang-buang waktu. Padahal baginya waktu adalah uang setoran yang mencekik seperti tali di ujung tiang gantungan! 

Sup”Stop, stop!”

Supir taksi tersenyum lebar ketika di pintu sebelah utara, seorang lelaki perlente; berkemeja putih dan berdasi, melambaikan tangan. Dia mengerem. Membuka pintu belakang. Penumpang necis itu naik. Sebelum melaju, seorang calo tanggung mendekati jendela mobilnya. Tanpa banyak bicara, dia menyodorkan logam limaratusan. Sebuah “kesolehan sosial” rutin dan cenderung dipaksakan. Bagi-bagi rezeki, itulah pembenaran sementara, walaupun di dalam hatinya dia berharap, aparat Pemda bisa membersihkan parasut sialan itu. “Selamat siang!” kata supir taksi memberi salam, yang mungkin sudah ribuan kali dia ucapkan tanpa hati yang tulus. 

“Siang!” jawab lelaki perlente itu menyenderkan punggungnya ke kursi.
“Ke mana?” tanyanya sambil menyalakan argo.
“Serpong!”

Gambir – Serpong! Olala, rezeki nomplok! Supir taksi tersenyum membayangkan angka di argonya membengkak. Lantas dengan penuh semangat, dia menginjak gas dan menarik kopling! Taksi pun mencebur dan berebut jalur di semrawutnya lalu-lintas Jakarta. Keempat ban taksinya menyatu di lelehan aspal. 
WUUUUUUSSSS….!!! 
TIIN, TIIIN, TIIIIIIINNNNN! 
Kembali klakson dan sumpah serapah memenuhi langit terik Jakarta!


Di lantai bawah Gambir, penumpang taksi tadi berlari-lari. Dia mengejar kereta Argo Gede dan berkelit di antara orang-orang yang mengalir bagai air bah. Yang hilir dan mudik. Yang lalu dan lalang. Tak ada tergambar secuilpun rasa takut akibat peristiwa bom Bali. Padahal Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Menkopolkam, sudah memperingatkan akan adanya bom susulan oleh teroris! Tapi yang ada di wajah orang-orang ini, mereka harus berangkat dan pulang untuk bekerja atau menemui handai taulan. 

Ya, mati itu urusan Tuhan dan sudah tergaris di takdir setiap orang. Tinggal menunggu waktunya. Bisa saja mati konyol di tangan teroris, atau mungkin tersenggol kereta api. Bahkan tewas di timah panas dan kapak berwarna merah milik para perampok jalanan, yang sedang jadi fenomena di Jakarta! Semuanya bisa saja terjadi merenggut nyawa kita! Sorang penyair angkatan ’45, Chairil Anwar, yang menulis di baris sajaknya; aku ingin hidup seribu tahun lagi, ternyata hanya diberi kesempatan hidup sampai umur 27 tahun saja oleh Tuhan. 

“Pemisi, permisi!” dia berkelit dari tubuh orang-orang, yang hampir ditabraknya, seperti seorang pemain football profesional saja. Dia bergegas, karena tidak ingin ketinggalan kereta.

“Heh! Lihat-lihat, dong!” gerutu seseorang. 

“Maaf, Pak!” dia tersenyum membetulkan letak kaca mata hitamnya, ketika menyenggol seorang lelaki yang berlawanan arah. 

“Maaf, maaf! Emangnya jalan nenek moyang lo, apa!”

Untuk menghindari pertengkaran mulut, penumpang taksi tadi memilih terus berlari menaiki tangga. Aroma panas yang menyelusup ke Gambir yang mewah, membuat orang cepat sekali naik pitam. AC central tak sanggup melawan kemarau tahun ini. Departemen Geofisika dan Meteorologi sudah melemparkan rasa optimis, bahwa hujan akan mengguyur Jakarta di akhir Oktober atau di awal November. Semoga betul. Karena minggu kemarin hujan memukul tanah panas Jakarta. Bahkan jika Mahgrib tiba, terasa benar angin bertiup menyegarkan. Sedangkan di televisi, diberitakan hujan sudah mulai turun di beberapa wilayah Indonesia. Di Medan Utara malah hujan menyebabkan banjir.

“Siapa, ya?” tapi orang yang disenggolnya tadi, seperti pernah melihatnya. Dia berteriak, “Hey! Kamu ‘Sador’, ya!?” Tampak dia menyesali dirinya. “Aduh! Kenapa gue marah tadi!” Sesal kemudian tiada guna. “Bukan jodoh kali!” katanya sambil bergegas menuju pelataran parkir stasiun.

Tapi si penumpang taksi yang dipanggil “Sador” tidak mendengar teriakannya. Kali ini travelling bag-nya hampir saja membentur kepala orang yang di depannya. Ups! Dia meliukkan badannya ke kanan dan terus berlari menghabiskan sisa-sisa anak tangga.

“Hey! Sador!” begitu juga teriak orang yang hampir disenggolnya.

Kali ini dia menoleh dan tersenyum sambil melambaikan tangannya. Lalu dia sudah sampai di koridor lantai dua. Di depan waralaba, persis di depan eskalator yang menuju platform kereta api, dia melihat beberapa juru foto dan juru warta berkumpul. O-o! Dia tak bisa mengelak. Padahal topi sudah dia rapatkan untuk menyembunyikan wajahnya. Begitu juga dengan kaca mata hitamnya. Tapi, mata para wartawan tak bisa dibohongi. Ah! Pasti Ridwan Kalapak, menejernya, yang membocorkan keberangkatannya ke Bandung dengan kereta api dari stasiun Gambir.

“Itu, itu Sador!” teriak mereka.
“Sador, ambil gambar dulu!”
“Wawancara! Lima menit aja!”
“Iya! Kereta kan berangkat sepuluh menit lagi!”
“Masih ada waktu!”
“Oke, oke! Lima menit, ya!” Sador terpaksa berhenti dan melepas senyum lebar. 

Tak baik bagi citra dirinya jika menolak keinginan mereka. 

“Buka topi sama kaca matanya, Sador!” seorang juru foto menyuruhnya.
Sador menurut.
Klak, klik, kluk…. 
Sador bergaya ketika kamera juru foto mengarah padanya. 

Orang-orang yang hendak naik eskalator melirik dan terperanjat, ketika melihat ada Sador! Tapi, mereka orang-orang berpendidikan, ehingga sangat pandai mneyembunyikan perasaan mereka. Berbeda jika peristiwa ini terjadi pada orang-orang biasa. Kefanatikan pada seorang public figure selalu dengan mudah dilampiaskan. Kadang menjerit-jerit; minta dipeluk, tanda tangan, atau foto bersama. Sador sering mengaalami peristiwa itu jika sedang show atau promotour di daerah-daerah.

“Bagaimana kansnya dengan promotour di Bandung ini?”
“Insya Allah, akan sukses seperti album-album sebelumnya!”
“Denger-denger, Amba mau bikin album sendiri?”
“Oh, ya?”
“Nggak tau, apa pura-pura nggak tau?”
“Ah, kalian ini ‘kan suka jadi provokator juga.”
Insan pers itu tertawa.
Sador hanya tersenyum.
“Jadi, ‘Amba-Sador’ nggak akan pernah pecah, begitu?”
“Hanya Allah-lah yang tau!”
“Allah kok dibawa-bawa!”
“Bisa beri jawaban yang membumi?”
“Yang kongkrit gitu!”
“Iya! Jangan abstrak melulu!”
“Susah kalo ngelawan ‘santri edan’ !”

Sador menatap si penanya terakhir. “Saya sebetulnya nggak suka dengan sebutan ‘santri edan’. Carilah sebutan yang lebih santun buat saya.”

“Lho, bukannya kamu emang ‘santri edan’ kayak bapakmu!”
“Kalau masih bawa-bawa nama almarhum bapak, wawancara saya sudahi!” ancamnya.
“Uuuuuh!”
“Gimana kamu nggak santri edan. Sholat iya, ngedugem dijalani juga!”
“Standar ganda ‘kan!”

Sador tercenung. Ya, ada betulnya juga pernyataan para kuli disket itu. Bagi almarhum ayahnya, sholat adalah kewajiban. Tapi ngedugem – dunia gemerlap - ke diskotek bukanlah sesuatu yang haram. Berjoget sampai shubuh hari, kenapa harus alergi? Sador pun mengikuti kehidupan yang dilalui almarhum ayahnya Yang terpenting baginya, janganlah menyentuh minuman keras. Apalagi wanita. Seusai ngedugem, dia toh kembali pulang ke apartemennya. Lalu sholat Shubuh dulu sebelum tidur panjang sampai waktu Dzuhur. Lagian dia ngedugem hanya pada malam Minggu saja. Sangat penting baginya masuk ke beragam pergaulan. Toh, Islam itu tidaklah sempit baginya. Islam memberikan wawasan yang luas.

Para wartawan menanti dengan cemas.
“Ya, udah! Kembali ke pertanyaan semula saja!”
Sador mengangguk mempersilahkan.
“Iya! Denger-denger, Amba mau solo karir! Gimana pendapat kamu!”
“Bubar dong ‘Amba-Sador’!”

Sador melihat mereka dengan tatapan menyengat. “Ingat, saudara-saudara! Kelahiran, jodoh, dan kematian, siapa yang bisa menebak misteri ini? Juga, siapa yang bisa menebak perjalanan hidup kita selanjutnya? Masa depan saya? Apakah lagu-lagu saya masih digemari? Atau…, ” sengaja dia tidak menyelesaikan kalimatnya.

Para kuli disket dan kuli foto itu tak ada yang menjawab. Mereka hanya saling tatap. Pada bagian ini, mereka memilih jadi pendengar saja. Mereka tahu, Sador memang punya latar belakang agama yang kuat. Jadi, walaupun tingkah laku Sador kadang seperti Islam KTP, tapi kalau sudah berbicara soal agama, dia fasih juga. Maklum, dia itu keturunan kiyai!

“Jadi, bagaimana jelasnya?”
“Bicaranya yang gamblang aja, deh!”



“Kalian yakin, kalau kereta yang akan saya tumpangi ke Bandung ini baik-baik saja? Siapa yang pernah menyangka gedung World Trade Centre luluh lantak? Nah, di kereta Argo Gede ini, siapa tahu, ada teroris nyasar nyimpen bom, lalu kereta meledak: bum! Iya ‘kan?! Atau, di antara kalian sendiri, tiba-tiba aja ada yang keserempet bus kota lalu: ma-ti! Apakah kita bisamenebak hal semacam ini?”
“Wah! Sador ini kebanyakan baca novel misteri kali!”
“Dia fans berat sama film-film Steven Spielberg !” seorang juru disket menyebut sutradara handal Hollywood keturunan Yahudi, yang hebat membikin film-film since fictions. 

Semua tertawa. Suasana menjadi cair lagi.

“Jadi artinya, saya ini bukanlah paranormal atau orang yang bisa membaca masa depan.”
“Hubungannya dengan ‘Amba-Sador’?”
“Kami ini hanya punya modal niat baik. Kami menyanyikan suara hati nurani kami, kebesaran Tuhan kami, atau suara alam yang menangis. Kami pikir, itu adalah yang terbaik yang sedang kami lakukan sekarang. Lantas, seandainya Allah mentakdirkan ‘Amba-Sador’ harus pecah, kami tak akan kuasa mencegahnya. Tapi, Insya Allah, sampai saat ini, kami dalam keadaan baik-baik saja. Wassalamuallaikum!”

“Satu pertanyaan lagi, Sador!” seorang juru warta tersadar.
“Sudah enam menit!” Sador menaiki eskalator. 
“Yaah! Sok jual mahal lo!”

Sador tidak peduli. Dia bergegas. “Permisi, permisi,” katanya melewati beberapa orang di depannya. Travelling bag-nya diusung tinggi-tinggi. 
Orang-orang yang dilewatinya menatapnya dengan sebal.
Sador tetap saja melempar senyum.
“Eh, itu Sador!”
“Sador, apaan?”
“Ya, Sador si ‘santri edan’!”
“Oh! Yang lagu-lagunya kampungan itu!”
“Yang sok moralis!”
“Sok suci!”
“Sama kayak bapaknya!”
“Like father like son!”
“Air jatuhnya ke pelimbahan juga!”
“Kayak apel! Jatuh nggak jauh dari pohonnya!”

Semua caci-maki orang-orang yang berada di belakang punggungnya, direkamnya dengan baik. Disimpannya dengan hati-hati di dalam kalbunya. Kadang itu dirasakan sebagai sayatan sembilu; perih. Kalau sudah begini, kadang dia menengadah ke langit; Papa! Kau, di atas sana! Apakau mendengar omongan mereka di sini? Apa salahku, Papa? Apa salah kita? Apa kita tidak boleh menjadi berbeda?

Tiba-tiba terdengar suara di pengeras suara: Kereta Argo Gede jurusan Jakarta - Bandung segera diberangkatkan. Kepada para pengantar diharap segera turun. Dan kepada penumpang yang masih berada di luar diharap segera naik…..

18 Januari 2008

CINTA SEJATI NURMALA


Nurmala berkenalan dengan Theo tatkala dia sedang bertugas sebagai perawat di sebuah rumahsakit. Cinta mereka berkembang bak sinetron. Ketika itu si cantik Nur juga 'ditaksir' pria lain. Sampai-sampai Theo dan sang pesaing sempat 'duel' memperebutkan cinta Tiurma.
Alhasil Theo-lah pemenangnya, walaupun dia harus mengorbankan telinganya yang robek dalam duel.

Sejak hari itu Theo selalu memperingati hari 'ulangtahun kuping'. Peristiwa ini juga diceritakan kepada ketujuh anak-anak mereka, yang lahir dari perkawinan Nurmala dan Theo kemudian. Sayangnya, romantisme ini tidak berlangsung lama.

Theo punya kebiasaan judi dan minum. Seperti umumnya mereka yang punya kebiasaan demikian, kekerasan menhadi sesuatu yang akrab. Kalau dia sudah marah, semua yang dalam rumah kena, Nurmala pun diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya. Hal-hal kecil saja seringkali memicu amarah pria yang bekerja sebagai polisi ini. Kalah judi, marah. Tiap hari Theo pulang dari kantor, makan siang, lantas pergi ke rumah teman-temannya. Kadang-kadang, teman-teman mereka bertandang ke rumah. Itu berarti judi dan mabuk. Dalam situasi ini, Nurmala harus selalu waspada, jangan sampai membuat suaminya marah.

Selain mendampingi suaminya sebagai istri polisi dan aktif di persatuan ibu-ibu Bhayangkara, Nurmala membuka toko kelontong di sebelah rumah mereka. Bakat Nur sebagai pedagang mulai nampak. Kehidupan ekonomi keluarga mereka membaik. Mereka membeli televisi, yang membuat rumah mereka selalu ramai dengan anak-anak tetangga yang ikut menonton. Kaum kerabat pun kerap menumpang di rumah dan beberapa bahkan disekolahkan. 
Mereka dikenalkan sebagai keluarga yang pandai bergaul dan murah hati.

Pasangan Nurmala dan Theo dikaruniai delapan anak, laki-laki semua. Waktu anak pertama lahir, laki-laki, tidak terkatakan sukacita mereka. Sudah ada penerus marga. Dalam waktu yang tidak lama lahir berturut-turut lima anak laki-laki. Theo mulai berpikir. "Tidak ada boru (anak perempuan)-ku?" Theo sendiri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara laki-laki semua.

"Anak ini harus perempuan," kata Theo kepada istrinya ketika Nurmala hamil untuk keenam kalinya. "Kalau tidak, kuceraikan kamu!"

Aduh, Tuhan! teriak Nurmala dalam hati. Bagaimana ini? Apa aku yang menentukan kelamin anak ini? Bagaimana kalau suamiku benar-benar menceraikan aku? Apa kata keluarga? Betapa malunya! Tidak ada yang bercerai dalam keluarga kami. Ke mana aku harus berlindung?

Sepanjang masa kehamilannya yang sembilan bulan sepuluh hari, Nur hidup dalam ketakutan akan diceraikan oleh Theo. Belum lagi tekanan-tekanan dan kekerasan yang dilakukan suaminya keadaan mabuk...

Akhir Juli 1963 Nurmala melahirkan anak laki-laki lagi. Stress berat yang dialaminya selama ini membuat Nurmala mengalami pendarahan hebat dan hampir meninggal. Atas saran dokter, semua keluarga sudah berkumpul, siap "melepas" Nurmala mengakhiri penderitaannya. Tapi Tuhan belum memanggilnya. Beberapa hari kemudian, Nurmala sembuh dan boleh membawa bayinya pulang. Melihat keadaan istrinya demikian, Theo tidak jadi menceraikan Nurmala.

Theo masih tetap menantikan hadirnya seorang anak perempuan. Dua tahun kemudian Nurmala hamil anak ketujuh. Tetapi yang datang laki-laki. Tidak sampai setahun, Tuhan memanggil si Bungsu ini. Tiurma sangat sedih. Entah mengapa perasaannya kepada putra bungsunya sangat mendalam, sehingga dia merasa kehilangan sekali. Teddy dimakamkan tidak jauh dari rumah mereka, di pemakaman umum.

Suatu kali dalam keadaan mabuk, Theo marah besar. Entah apa masalahnya, Nurmala tidak ingat. Tapi demikian marahnya suaminya sampai tidak puas hanya menendang dan menempeleng istrinya sampai ke luar rumah. Waktu Theo masuk untuk mengambil gagang sapu, Nurmala melarikan diri dari rumah. Malam itu Nurmala tidur di atas nisan (kuburan) Teddy.

"Nak, mengapa kau tidak mengajak Mama?" tangisnya terisak-isak, sambil membelai batu itu. "Mengapa aku tidak mati saja, Tuhan?" Dia tidak peduli kegelapan malam. Paginya, anak-anaknya melihat ibu mereka pulang masih dengan wajah babak belur.

"Mama dari mana?" tanya si anak nomor enam

"Dari kuburan adikmu."

Waktu terus berjalan. Anak-anak mereka tumbuh dewasa. Sifak buruk Theo "menurun" kepada anak-anak mereka. Judi dan mabuk dengan mudah mereka pelajari dari ayahnya. Rumah mereka seperti hotel. Anak-anak tidak pernah di rumah, kecuali untuk mandi, makan dan tidur. Dalam situasi seperti ini, lahirlah anak ke delapan tahun 1968.

Tidak lama setelah itu, karier Theo di kepolisian mengalami masalah. Rupanya selama lima tahun terakhir Theo menggunakan gaji polisi yang dipercayakan kepada untuk main judi. Negara dirugikan puluhan juta rupiah pada tahun 1975. Kepadanya diberi pilihan ; mengembalikan uang negara atau dibui selama dua tahun dan dipecat dari kepolisian. Thei memilih yang pertama.

Dalam tempo singkat mereka jatuh miskin. Linglung, seperti tidak berpijak di tanah, Nurmala membawa ke pegadaian, emas dan berlian yang dikumpulkannya selama puluhan tahun, dalam sebuah kaleng biskuit. Beratnya hampir 20 kilogram. Ini dilakukannya untuk menebus suaminya dari penjara. Semua tanah dijual... Toko kelontong bangkrut. Keluarga yang tadinya sering dibantu, memalingkan diri. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Gaji pun masih dipotong untuk membayar sisa hutang.

Tetapi kehidupan mesti jalan terus. Anak-anak baru satu yang bekerja. Maka, Nurmala kembali menjadi penyelamat. Dia membuka usaha jualan warung nasi soto di pasar bagi penjual sayur dan kuli pasar. Nurmala menanggalkan semua kebanggaannya sebagai istri perwira polisi. Dia turun ke pasar, bergaul dengan tukang becak dan kuli.

Bertahun-tahun, dia berjuang. Saat orang-orang mulai lelap di peraduan, Nurmala bangun, dan mulai memasak, subuh sudah jualan. Lepas tengah hari Nurmala pulang sambil membawa belanjaan untuk didagangkan besoknya. Tidak sempat istirahat, Nurmala masih harus mengurus suami dan ketujuh anaknya; membersihkan rumah, mencuci, dan semua pekerjaan rumahtangga lainnya. Selain itu, Nurmala juga melayani kekejaman suaminya yang menghebat sejak Theo mengalami masalah di kantor, Nurmala juga harus menghadapi masalah anak-anaknya. Mereka tidak serius belajar sehingga mendapat pendidikan seadanya. Kebiasaan buruk yang sudah menurun membuat tiga anak-anaknya yang terbesar seringkali pulang dalam keadaan mabuk.

Suatu ketika di tahun 1981, Nurmala dirawat di Rumah Sakit, tak lama setelah Tuhan menjamah anak keenamnya. Anak yang masih kelas 2 SMU ini bertobat. Hatinya baru disentuh Injil menggebu-gebu untuk melayani keluarganya, terutama Mama yang dikasihinya. Saat Nurmala dalam keadaan putus asa karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, putranya berkata "Ma, berdoalah. Minta kesembuhan dari Tuhan."

"Tuhan tidak ada!" jawan Nurmala ketus. "Kalau Tuhan ada, saya mau Dia mengeluarkan saya dari sini."

"Yakinlah," tantang putranya. "Dia akan memberi."

Walaupun ragu-ragu, Nurmala berdoa. Dia memohon Tuhan mengasihaninya. Tuhan menjawab. Malam itu dokter menemui Nurmala dan berkata, "Besok ibu boleh pulang." Nurmala berubah.

Anugerah Tuhan belum berhenti. Dia juga menjamah Theo. Melihat perubahan besar dalam diri istri dan putranya, Theo digerakkan mencari Tuhan. Dia mengalami pembaruan dalam sebuah kebangunan rohani di Medan. Theo menjadi sangat rajin membaca Alkitab, melayani dan banyak memberitakan Injil. Buah pertobatannya membuat anak-anaknya ikut berubah dan akhirnya menerima Kristus.

Sejak itu kehidupan rumahtangga mereka berubah. Kesabaran Nurmala membuahkan hasil. Anak-anak mereka dan banyak anggota keluarga lain akhirnya mengenal Kristus melalui pertobatan mereka. Beberapa tahun kemudian Theo sakit keras. Nurmala melakukan komitmennya, berjuang mengurus suaminya yang sakit. Suami yang dulu sering menyiksa hidupnya. Itulah kuasa cinta. Menebus keluarga. Itulah yang dilakukan Nurmala. Ia menjadi agen penebus di tengah keluarga, terutama bagi suaminya yang pernah menyakiti hatinya. Cinta sejati membutuhkan pengorbanan dan harga yang mahal. Seandainya, di tengah perjalanan Nurmala menjadi putus asa dan bercerai dari Theo, tentu keluarga, tetangga, dan anak-anaknya tidak akan menyaksikan akhir cerita yang demikian dramatis. Banyak orang bersyukur. Pengorbanan Nurmala menjadi teladan bagi putra-putranya dan generasi yang akan datang.