18 Januari 2008

CINTA SEJATI NURMALA


Nurmala berkenalan dengan Theo tatkala dia sedang bertugas sebagai perawat di sebuah rumahsakit. Cinta mereka berkembang bak sinetron. Ketika itu si cantik Nur juga 'ditaksir' pria lain. Sampai-sampai Theo dan sang pesaing sempat 'duel' memperebutkan cinta Tiurma.
Alhasil Theo-lah pemenangnya, walaupun dia harus mengorbankan telinganya yang robek dalam duel.

Sejak hari itu Theo selalu memperingati hari 'ulangtahun kuping'. Peristiwa ini juga diceritakan kepada ketujuh anak-anak mereka, yang lahir dari perkawinan Nurmala dan Theo kemudian. Sayangnya, romantisme ini tidak berlangsung lama.

Theo punya kebiasaan judi dan minum. Seperti umumnya mereka yang punya kebiasaan demikian, kekerasan menhadi sesuatu yang akrab. Kalau dia sudah marah, semua yang dalam rumah kena, Nurmala pun diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya. Hal-hal kecil saja seringkali memicu amarah pria yang bekerja sebagai polisi ini. Kalah judi, marah. Tiap hari Theo pulang dari kantor, makan siang, lantas pergi ke rumah teman-temannya. Kadang-kadang, teman-teman mereka bertandang ke rumah. Itu berarti judi dan mabuk. Dalam situasi ini, Nurmala harus selalu waspada, jangan sampai membuat suaminya marah.

Selain mendampingi suaminya sebagai istri polisi dan aktif di persatuan ibu-ibu Bhayangkara, Nurmala membuka toko kelontong di sebelah rumah mereka. Bakat Nur sebagai pedagang mulai nampak. Kehidupan ekonomi keluarga mereka membaik. Mereka membeli televisi, yang membuat rumah mereka selalu ramai dengan anak-anak tetangga yang ikut menonton. Kaum kerabat pun kerap menumpang di rumah dan beberapa bahkan disekolahkan. 
Mereka dikenalkan sebagai keluarga yang pandai bergaul dan murah hati.

Pasangan Nurmala dan Theo dikaruniai delapan anak, laki-laki semua. Waktu anak pertama lahir, laki-laki, tidak terkatakan sukacita mereka. Sudah ada penerus marga. Dalam waktu yang tidak lama lahir berturut-turut lima anak laki-laki. Theo mulai berpikir. "Tidak ada boru (anak perempuan)-ku?" Theo sendiri adalah anak bungsu dari tiga bersaudara laki-laki semua.

"Anak ini harus perempuan," kata Theo kepada istrinya ketika Nurmala hamil untuk keenam kalinya. "Kalau tidak, kuceraikan kamu!"

Aduh, Tuhan! teriak Nurmala dalam hati. Bagaimana ini? Apa aku yang menentukan kelamin anak ini? Bagaimana kalau suamiku benar-benar menceraikan aku? Apa kata keluarga? Betapa malunya! Tidak ada yang bercerai dalam keluarga kami. Ke mana aku harus berlindung?

Sepanjang masa kehamilannya yang sembilan bulan sepuluh hari, Nur hidup dalam ketakutan akan diceraikan oleh Theo. Belum lagi tekanan-tekanan dan kekerasan yang dilakukan suaminya keadaan mabuk...

Akhir Juli 1963 Nurmala melahirkan anak laki-laki lagi. Stress berat yang dialaminya selama ini membuat Nurmala mengalami pendarahan hebat dan hampir meninggal. Atas saran dokter, semua keluarga sudah berkumpul, siap "melepas" Nurmala mengakhiri penderitaannya. Tapi Tuhan belum memanggilnya. Beberapa hari kemudian, Nurmala sembuh dan boleh membawa bayinya pulang. Melihat keadaan istrinya demikian, Theo tidak jadi menceraikan Nurmala.

Theo masih tetap menantikan hadirnya seorang anak perempuan. Dua tahun kemudian Nurmala hamil anak ketujuh. Tetapi yang datang laki-laki. Tidak sampai setahun, Tuhan memanggil si Bungsu ini. Tiurma sangat sedih. Entah mengapa perasaannya kepada putra bungsunya sangat mendalam, sehingga dia merasa kehilangan sekali. Teddy dimakamkan tidak jauh dari rumah mereka, di pemakaman umum.

Suatu kali dalam keadaan mabuk, Theo marah besar. Entah apa masalahnya, Nurmala tidak ingat. Tapi demikian marahnya suaminya sampai tidak puas hanya menendang dan menempeleng istrinya sampai ke luar rumah. Waktu Theo masuk untuk mengambil gagang sapu, Nurmala melarikan diri dari rumah. Malam itu Nurmala tidur di atas nisan (kuburan) Teddy.

"Nak, mengapa kau tidak mengajak Mama?" tangisnya terisak-isak, sambil membelai batu itu. "Mengapa aku tidak mati saja, Tuhan?" Dia tidak peduli kegelapan malam. Paginya, anak-anaknya melihat ibu mereka pulang masih dengan wajah babak belur.

"Mama dari mana?" tanya si anak nomor enam

"Dari kuburan adikmu."

Waktu terus berjalan. Anak-anak mereka tumbuh dewasa. Sifak buruk Theo "menurun" kepada anak-anak mereka. Judi dan mabuk dengan mudah mereka pelajari dari ayahnya. Rumah mereka seperti hotel. Anak-anak tidak pernah di rumah, kecuali untuk mandi, makan dan tidur. Dalam situasi seperti ini, lahirlah anak ke delapan tahun 1968.

Tidak lama setelah itu, karier Theo di kepolisian mengalami masalah. Rupanya selama lima tahun terakhir Theo menggunakan gaji polisi yang dipercayakan kepada untuk main judi. Negara dirugikan puluhan juta rupiah pada tahun 1975. Kepadanya diberi pilihan ; mengembalikan uang negara atau dibui selama dua tahun dan dipecat dari kepolisian. Thei memilih yang pertama.

Dalam tempo singkat mereka jatuh miskin. Linglung, seperti tidak berpijak di tanah, Nurmala membawa ke pegadaian, emas dan berlian yang dikumpulkannya selama puluhan tahun, dalam sebuah kaleng biskuit. Beratnya hampir 20 kilogram. Ini dilakukannya untuk menebus suaminya dari penjara. Semua tanah dijual... Toko kelontong bangkrut. Keluarga yang tadinya sering dibantu, memalingkan diri. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi. Gaji pun masih dipotong untuk membayar sisa hutang.

Tetapi kehidupan mesti jalan terus. Anak-anak baru satu yang bekerja. Maka, Nurmala kembali menjadi penyelamat. Dia membuka usaha jualan warung nasi soto di pasar bagi penjual sayur dan kuli pasar. Nurmala menanggalkan semua kebanggaannya sebagai istri perwira polisi. Dia turun ke pasar, bergaul dengan tukang becak dan kuli.

Bertahun-tahun, dia berjuang. Saat orang-orang mulai lelap di peraduan, Nurmala bangun, dan mulai memasak, subuh sudah jualan. Lepas tengah hari Nurmala pulang sambil membawa belanjaan untuk didagangkan besoknya. Tidak sempat istirahat, Nurmala masih harus mengurus suami dan ketujuh anaknya; membersihkan rumah, mencuci, dan semua pekerjaan rumahtangga lainnya. Selain itu, Nurmala juga melayani kekejaman suaminya yang menghebat sejak Theo mengalami masalah di kantor, Nurmala juga harus menghadapi masalah anak-anaknya. Mereka tidak serius belajar sehingga mendapat pendidikan seadanya. Kebiasaan buruk yang sudah menurun membuat tiga anak-anaknya yang terbesar seringkali pulang dalam keadaan mabuk.

Suatu ketika di tahun 1981, Nurmala dirawat di Rumah Sakit, tak lama setelah Tuhan menjamah anak keenamnya. Anak yang masih kelas 2 SMU ini bertobat. Hatinya baru disentuh Injil menggebu-gebu untuk melayani keluarganya, terutama Mama yang dikasihinya. Saat Nurmala dalam keadaan putus asa karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, putranya berkata "Ma, berdoalah. Minta kesembuhan dari Tuhan."

"Tuhan tidak ada!" jawan Nurmala ketus. "Kalau Tuhan ada, saya mau Dia mengeluarkan saya dari sini."

"Yakinlah," tantang putranya. "Dia akan memberi."

Walaupun ragu-ragu, Nurmala berdoa. Dia memohon Tuhan mengasihaninya. Tuhan menjawab. Malam itu dokter menemui Nurmala dan berkata, "Besok ibu boleh pulang." Nurmala berubah.

Anugerah Tuhan belum berhenti. Dia juga menjamah Theo. Melihat perubahan besar dalam diri istri dan putranya, Theo digerakkan mencari Tuhan. Dia mengalami pembaruan dalam sebuah kebangunan rohani di Medan. Theo menjadi sangat rajin membaca Alkitab, melayani dan banyak memberitakan Injil. Buah pertobatannya membuat anak-anaknya ikut berubah dan akhirnya menerima Kristus.

Sejak itu kehidupan rumahtangga mereka berubah. Kesabaran Nurmala membuahkan hasil. Anak-anak mereka dan banyak anggota keluarga lain akhirnya mengenal Kristus melalui pertobatan mereka. Beberapa tahun kemudian Theo sakit keras. Nurmala melakukan komitmennya, berjuang mengurus suaminya yang sakit. Suami yang dulu sering menyiksa hidupnya. Itulah kuasa cinta. Menebus keluarga. Itulah yang dilakukan Nurmala. Ia menjadi agen penebus di tengah keluarga, terutama bagi suaminya yang pernah menyakiti hatinya. Cinta sejati membutuhkan pengorbanan dan harga yang mahal. Seandainya, di tengah perjalanan Nurmala menjadi putus asa dan bercerai dari Theo, tentu keluarga, tetangga, dan anak-anaknya tidak akan menyaksikan akhir cerita yang demikian dramatis. Banyak orang bersyukur. Pengorbanan Nurmala menjadi teladan bagi putra-putranya dan generasi yang akan datang.

Tidak ada komentar: